MANAJEMEN
KONFLIK DAUD & BATSYEBA
Dalam
manajemen konflik tidak ada satu pendekatan pun yang efektif untuk semua
situasi, oleh karena itu, penting untuk mengembangkan kemampuan menggunakan
setiap gaya sesuai dengan situasi. Dalam hal ini manajemen konflik yang terjadi
antara Daud dan Batsyeba adalah gaya manajemen konfliknya ada dua hal yaitu
mendominasi (menonjolkan kemauan diri sendiri), dan menghindar. Dimana gaya
manajemen konflik mendominasi adalah menekankan kepentingan sendiri, pada gaya
ini kepentingan orang lain tidak diperdulikan sama sekali. Gaya ini dapat
reaksioner, di dorong oleh keinginan menyelamatkan diri sendiri, bila suatu
persoalan penting gaya ini akan memaksa pihak lain memusatkan perhatian pada
kebutuhan-kebutuhan yang spesifik. Gaya menghindar adalah melemparkan masalah
pada orang lain atau mengesampingkan masalah. Orang yang menggunakan gaya ini
menarik diri dari situasi yang ada dan membiarkan orang lain untuk
menyelesaikannya.
Jika
ditinjau kembali dalam konflik Daud dan Batsyeba, maka gaya manajemen konflik
yang digunakan oleh Daud adalah gaya manajemen konflik mendominasi. Pada konflik
Daud dan Batsyeba, maka penulis sebagai manajer konflik akan melakukan beberapa
hal sebagai berikut: Pertama, menolong
untuk mengenali diri sendiri menjelaskan dampak dari perbuatan yang dilakukan
dan mengingatkan untuk mewaspadai peluang pada kebebasan manusia untuk berbuat
dosa. Kedua, mengingatkan akan
perlunya menciptakan sistem hidup baru yang tidak memberi peluang terhadap
pencobaan. Ketiga, mengenali apa yang
terjadi di dalam hidupnya dan menjelaskan kembali tangggungjawabnya sebagai
pemimpin. Keempat, menolong untuk
mengembangkan strategi pengontrolan diri yang sehat. Kelima, menjelaskan bahwa orang percaya tidak memiliki melampiaskan
seksual yang disukainya. Keenam, menjelaskan
prinsip Alkitab tentang dosa perzinahan.
Prioritas
Penyelesaian Konflik
Keberhasilan
dalam mengelola konflik ditentukan oleh ketepatan dalam memilih teknik
pengelolaan konflik, dan kesediaan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik
untuk menyelesaikan konflik. Winardi (Wahyudi, 2008) berpendapat bahwa
metode-metode yang paling banyak digunakan dalam penyelesaian konflik sebagai
berikut:
a. Metode
dominasi atau supresi
Metode
ini berusaha menekankan konflik dan bukan menyelesaikannya, dengan cara
memaksakan, konflik diharapkan reda dengan sendirinya. Hasil penyelesaian
konflik dengan metode dominasi menimbulkan situasi menang-kalah, pihak yang
kalah harus menerima kenyataan bahwa pihak lain mempunyai otoritas yang lebih
tinggi.
b. Metode
kompromi
Penyelesaian
konflik dengan jalan menghimbau pihak yang terlibat konflik untuk tujuan
masing-masing kelompok guna mencapai sasaran yang lebih penting bagi
kelangsungan organisasi. Penyelesaian konflik dengan metode kompromi dilakukan
dengan cara, pertama, memisahkan
pihak-pihak yang konflik hingga dicapai suatu pemecahan, kedua, campur tangan pihak ketiga, ketiga, salah satu pihak menerima imbalan untuk mengakhiri
konflik.
c. Metode
pemecahan problem integrative
Metode
ini dapat mengalihkan konflik antar kelompok menjadi sebuah situasi pemecahan
masalah bersama. Cara yang dilakukan dalam metode ini, pertama, melalui consensus kedua pihak yang terlibat konflik, kedua, konfrontasi untuk membandingkan
pendapat masing-masing pihak yang berkonflik, ketiga, penggunaan tujuan-tujuan superordinat sebagai tujuan yang
bernilai lebih tinggi dari tujuan kelompok, tujuan tidak dapat dicapai tanpa
kerjasama semua pihak yang bertentangan.
Dalam konflik Daud dan Batsyeba,
prioritas yang dilakukan dalam menyelesaikan konflik tersebut dapat dilakukan
dengan metode kompromi. Menolong orang yang sedang konflik dengan cara kompromi
tidaklah selalu hal yang negatif, akan tetapi hal ini dilakukan karena melihat
dari kepribadian Daud yang mendominasi, dimana hanya mementingkan diri sendiri
sehingga melakukan berbagai upaya dalam mewujudkan keinginannya. Dengan metode
kompromi yang digunakan maka prioritas utama dalam menyelesaikan konfliknya
adalah memanggil pihak ketiga. Dimana yang dimaksudkan pihak ketiga dalam hal
ini adalah penasihat-penasihat raja yang memungkin dapat memberikan
nasihat-nasihat atas perbuatan yang dilakukan.
Dalam proses pembicaraan dengan
pihak ketiga, maka dilakukan suatu penyusunan untuk tahap-tahap penyelesaian
konflik sehingga dapat disampaikan kepada Daud. Dengan demikian dapat menolong
yang sedang berkonflik memberikan suatu pemahaman bahwa harus memiliki suatu
kesadaran dan jujur atas kelemahan yang dimiliki, sehingga bergantung mutlak
kepada Allah. Maka prioritas penyelesaian konflik selanjutnya yaitu memisahkan
pihak-pihak yang berkonflik, tujuannya untuk mendengarkan setiap curhatan isi
hatinya dengan demikian akan menolong memilah-milah fakta masalah yang telah
terjadi. Sehingga dapat menyadarkan diri sendiri untuk mengambil langkah
penyelesaian konflik dan bertobat dalam perbuatannya.
Dikutip dari : Peg Pickering, Kiat Menangani Konflik (Jakarta:
Erlangga,2006).